Rabu, 03 Desember 2014

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PULAU NIAS PROVINSI SUMATERA UTARA

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PULAU NIAS PROVINSI SUMATERA UTARA 

 

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG MASALAH
            Apabila kita mengikuti sejarah perkembangan bangsa Indonesia maka yang harus diangkat adalah kemajemukannya. Yaitu, keberagaman suku bangsa yang ada, dimana dinamika masyarakat dan kebudayaannya yang memiliki konsepsi-konsepsi khusus mengenai konsep suku bangsa di suatu daerah kebudayaan. Dalam kebudayaan tersebut ada yang dikatakan sebuah kearifan lokal, yaitu pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta strategi kehidupan yang terwujud dalam aktivitas masyarakat setempat. Dalam makalah ini suku bangsa Nias adalah topik yang ingin kami kaji lebih lanjut mengenai kearifan lokal yang ada, dan juga mengenai etika lingkungan suku bangsa Nias.
            Suku Nias adalah sekelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, masyarakat Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat)dan di tempat-tempat lain sampai sekarang.
            Dalam kearifan lokal terdapat beberapa karakter yang mendefinisikan kebudayaan suku bangsa Nias. Yang diantaranya: etika, kesehatan, sosial kemasyarakatan, kelestarian lingkungan, kondisi alam, dan lain-lain.
1.2  TUJUAN
a)    Pembaca dapat mengetahui seluk beluk hakikat serta penerapan hubungan antara kearifan lokal nias dengan etika lingkungan.
b)   Mengetahui dan memahami berbagai kearifan lokal masyarakat Nias, baik dari segi kesenian, kepemimpinan, dan sebagainya.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1    KEARIFAN LOKAL
            Kearifan lokal sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta strategi kehidupan yang terwujud dalam aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Kehidupan manusia pun menjadi lebih dinamis dan berwarna. Dengan kearifan lokal, manusia senantiasa:
a)    Mencari tahu dan menelaah bagaimana cara hidup yang lebih baik dari sebelumnya.
b)   Menemukan sesuatu untuk menjawab setiap keingintahuannya.
c)    Menggunakan penemuan-penemuan untuk membantu dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
            Manusia pun menjadi lebih aktif mengfungsikan akal untuk senantiasa mengembangkan ilmu yang diperoleh dan yang dipelajarinya. Selain itu berkat kearifan lokal, manusia:
a)    Menjadi tahu sesuatu dari yang sebelumnya tidak tahu.
b)   Dapat melakukan banyak hal di berbagai aspek kehidupan.
c)    Menjalani kehidupan dengan nyaman dan aman.
2.2    DEFINISI
            Ruang lingkup kearifan lokal masyarakat Nias terdapat pada beberapa aspek. Yaitu, Local Wisdom ( kebijakan lokal), Local Knowledge (pengetahuan setempat), dan Lokal Genius (kecerdasan setempat).
            Local Wisdom yang berarti kebijakan lokal adalah sebuah ruang lingkup yang berlandaskan kebijakan, kebijakan dapat diartikan kemahiran akan konsep dan azaz yang menjadi garis besar dan dasar rencanadalan pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam dalam pernyataan cita-cita,tujuan, prinsip, atau maksud dari garis pedoman untuk management dalam usaha mencapai sasaran. Dengan kata lain kebijakan lokal adalah rangkaian konsep dan azaz yang menjadi garis besar rencana atau aktivitas masyarakat setempat.
            Local Knowledge yang berarti pengetahuan setempat adalah ruang lingkup yang berlandaskan pengetahuan, pengetahuan dapat diartikan sebagai sesuatu yang diketahui dan berkenaan dengan hal kehidupan manusia dalam masyarakat setempat.
            Lokal Genius yang berarti kecerdasan setempat adalah ruang lingkup kecerdasan, kecerdasan dapat diartikan kesempurnaan perkembangan akal budi, kecerdasan yang berkenaan dengan hatidan kepedulian antar sesama manusia, mahluk alam, dan Tuhan dalam aktivitas masyarakat saetempat.
2.3    KAIDAH-KAIDAH
            Kebijakan umum, adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Pada prinsipnya yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Dalam penekanannya aspek kebijakan umum ( kearifan lokal), menganggap bahwa setiap masyarakat mempunyai tujuan bersama. Cita-cita bersama ini ingin dicapai melalui usaha bersama, dan untuk itu perlu ditentukan rencana-rencana yang mengikat, yang dituangka dalam kebijakan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini pemerintah / tokoh adat setempat. Berikut ini definisi, Hoogerwerf : objek politik adalah kebijakan pemerintah proses terbentuknya, serta sebab akibatnya. Ialah membangun masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1    HAKIKAT KEARIFAN LOKAL NIAS
            Kearifan lokal sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta strategi kehidupan yang terwujud dalam aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Dimana kearifan lokal tersebut memiliki karakter yang diturun-temurunkan melalui budaya setempat. Yang diantaranya, etika sebagai bagian dari kearifan lokal adalah ilmu tentang apa yang baik dan burukdan tentang hak dan kewajiban (ahklak), kesehatan atau pengobatan adalah cara atau proses penyembuhan, sosial kemasyarakatan, mata pencaharian, kelestarian lingkungan, bencana alam, dan lain-lain.
3.1.1   Sejarah Perkembangan Masyarakat Nias
              Suku Nias adalah sekelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, masyarakat Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat)dan di tempat-tempat lain sampai sekarang.
              Menurut Mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas dikatakan bahwa kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
              Sedangkan berdasarkan penelitian Arkeologi yang telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitikum, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
3.1.2   Kearifan Lokal dalam “kepemimpinan”
              Di pulau Nias juga dikenal istilah marga yaitu sistem yang mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari perkumpulan-perkumpulan dari seorang nenek moyang. Pernikahan dalam satu marga tidak dibenarkan.
              Di samping itu pula di Pulau Nias dikenal istilah kasta. Di pulau Nias dikenal ada sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu" dan untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Adapun beberapa rincian kasta yang terdapat di Pulau Nias antara lain :
a)    Si’ulu (Balugu/Salaŵa), yaitu: golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan tertinggi secara turun-temurun, akan tetapi pengukuhannya melalui proses pelaksanaan pesta kebesaran (Owasa/Fa’ulu). Bangsawan yang telah memenuhi kewajiban adatnya melalui proses Owasa/Fau’ulu disebut Si’ulu Si Ma’awai dan menjadi Balö Zi’ulu yaitu bangsawan yang memerintah;
b)   Ere, yaitu: para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena kepintaran seseorang dalam hal tertentu, maka dia disebut Ere, umpamanya Ere Huhuo yaitu seseorang yang sangat pintar dalam berbicara terutama menyangkut adat-istiadat. Secara garis besar terdapat 2 (dua) macam ere, yaitu: Ere Börönadu dan Ere Mbanua;
c)    Si’ila, yaitu: kaum cerdik-pandai yang menjadi anggota badan musyawarah desa. Mereka yang selalu bermusyawarah dan bersidang (Orahu) pada setiap masalah-masalah yang dibicarakan dalam desa, dipimpin oleh Balö Zi’ulu dan Si’ulu lainnya;
d)   Sato, yaitu: Masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan) juga sering disebut Ono mbanua atau si fagölö-gölö atau niha si to’ölö;
e)    Sawuyu (Harakana), yaitu: golongan masyarakat yang terendah. Mereka berasal dari orang-orang yang melanggar hukum dan tidak mampu membayar denda yang dibebankan kepadanya berdasarkan keputusan sidang badan musyawarah desa. Kemudian mereka ditebus oleh seseorang (biasanya para bangsawan), oleh karenanya semenjak itu mereka menjadi budak (abdi) bagi penebus mereka. Mereka juga berasal dari orang-orang yang tidak mampu membayar utang-utangnya, orang-orang yang diculik atau orang-orang yang kalah dalam perang, kemudian mereka menjadi budak.
              Stratifikasi sosial di Nias memiliki pemahaman dan dasar agama suku. Dualisme para dewa tercermin dalam pelapisan sosial di Nias. Sifat dewa atas sebagai pencipta dan yang memerintah kosmos, itu dimiliki oleh kaum bangsawan (nga`ötö zalawa/si'ulu) dan sifat dewa bawah dimiliki oleh rakyat biasa (nga`ötö niha sato/sito`ölö). Sedangkan budak atau nga`ötö zawuyu, pada konsep asli tata kemasyarakatan Nias, tidak dijumpai. Kaum budak timbul kemudian, karena beberapa alasan, misalnya tawanan perang, atau orang yang tidak sanggup membayar utang lalu dijadikan budak, atau orang yang seyogianya dihukum mati karena kesalahannya yang cukup berat, lalu ditebus oleh kaum bangsawan dan kemudian dijadikan budak. Kaum bangsawan sebagai pencipta dan pemerintah banua, seperti halnya Lowalangi, mencipta dan memelihara kosmos. Kaum rakyat kebanyakan rela mati di medan perang karena mereka bertugas menjaga dan memelihara banua, seperti halnya Laturadanö yang memelihara dan menjaga kosmos.
              Dalam sistem kemasyarakatan Nias, yang menjadi pemimpin banua adalah Salawa atau Balö Zi’ulu dan perangkatnya, sedang pada aras Öri dipimpin oleh Tuhenöri dan perangkatnya. Sudah menjadi bagian dari budaya bahwa yang menjadi pimpinan banua atau Öri adalah yang mempunyai status tinggi dalam masyarakat. Sebelum banua didirikan, dulunya masyarakat Nias mendirikan rumahnya terpencar-pencar. Lalu bila ada dari antara masyarakat yang mau mendirikan banua, maka lebih dahulu ia harus menunjukkan dirinya dan kemampuannya melalui Owasa (Pesta besar) dalam menaikkan status sosialnya, sehingga kelihatan lebih tinggi dari masyarakat lainnya.
              F. Harefa menyatakan bahwa Salawa artinya Yang Tinggi. Ia disebut demikian karena ialah yang lebih dari kawannya sekampung itu dalam segala hal, umpamannya: Tentang bangsa, dialah yang lebih tertua; tentang keadaannya, dialah yang lebih berada; tentang kepandaian, dialah yang lebih pandai dan sebagainya. Sejajar dengan itu, Bambowo La'ia menyatakan bahwa pemimpin di Nias itu mempunyai syarat, yakni:
(1) berwibawa (Molakhömi). Wibawa itu mewujudkan diri dalam keseganan terhadap seseorang. Wibawa ini adalah pembawaan sejak lahir, dan sukar menerangkan sebab-sebab yang membuat orang segan kepada seseorang itu.
(2) senioritas (Fa'asia'a). Sebenarnya menyangkut faktor ini boleh dua pembahagian, yaitu tua karena umur dan tua karena dianggap tua, bukan karena umur. Tua karena umur itulah senioritas, tetapi tua karena dianggap tua atau karena alasan-alasan yang tertentu itulah yang disebut "primus interpares".
(3) berkeadaan (Fo khö). Seorang diangkat pimpinan karena kaya. Di Nias sering terdengar : "Lihat dulu dapurnya, berasap apa tidak." Maksudnya, apakah berkeadaan atau tidak.
(4) kepandaian (Fa'onekhe). Bila yang berkeinginan mendirikan kampung tersebut telah menunjukkan dirinya sebagai yang "tertinggi", barulah ia memberitahu dan sekaligus mengajak masyarakat untuk mendirikan banua. Pada waktu itu, yang bakal "salawa" membayar adat kepada orang banyak. Adapun nama-nama adat tersebut adalah: pembersihan bukit/pertapakan kampung (Folowi ba hili); penanaman tanda sila'uma (Fananö zi la'uma); pemberian nama kampung (Famatörö döi mbanua) dan membuat jalan ke pancuran (Folowi lala ba nidanö).
              Untuk keempat pekerjaan di atas, calon salawa harus membayar adat, yakni babi, emas dan perak. Menurut perhitungan pada tahun 1939, jumlah tanggung-jawab calon salawa tersebut adalah f 100. Kalau ini telah dipenuhi, maka nama calon salawa tersebut menurut adat disebut Sanuhe (salawa/pemimpin nomor 1). Perangkat desa lainnya, yakni Tambalina (nomor 2), Fahandrona (nomor 3), si Daôfa (nomor 4), si Dalima (nomor 5), si Daönö (nomor 6) sampai nomor 10 bahkan nomor 12. Mereka juga melaksanakan pesta, dengan menunaikan tanggung-jawab mereka sesuai dengan adat yang berlaku.”15 Tugas, tanggung jawab pimpinan banua serta berbagai hukum dan peraturan yang berlaku di wilayah itu, disepakati melalui musyawarah Fondrakô.
              Demikian halnya untuk Öri, di mana Tuhenôri dan perangkatnya mempunyai status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Ketika mendirikan Öri (Negeri), maka Tuhenöri dan perangkatnya, yakni nomor 2-12, juga membayar tanggung-jawab sesuai dengan adat pendirian Öri.
              Berbicara mengenai pemekaran kampung, bagi masyarakat Nias dulunya, itu hal biasa ketika terjadi penyebaran penduduk, dengan ketentuan bahwa pemimpinnya tetap menjalankan persyaratan sebagaimana telah diuraikan di atas. Pemekaran banua bukan karena ada “perselisihan”, tetapi justru “setelah seseorang menunjukan prestasinya dengan: mokhö, molakhömi, atuatua/onekhe dan tobali samaeri. Sedangkan mengenai nama-nama Banua, orang Nias dulunya ketika mengadakan penyebaran sering kali membawa nama Banua darimana mereka berasal (Misalnya: Ononamölö, Onowaembo; Si so bahili, Hiligara, dst.) dan sering juga penamaan banua itu sesuai dengan kondisi atau tempat dimana mereka berada.
              Dari uraian di atas, terungkap bahwa dalam budaya Nias, terungkap kearifan lokal dalam sistem kepemimpinan, dimana tidak ada pemimpin yang “lompat pagar” atau “kutu loncat” atau “instan”, melainkan seorang yang memiliki kapasitas dan integritas (kecerdasaran, kepedulian kepada rakyat, mengayomi rakyat, melayani rakyat) dan memiliki integritas, sehingga dihormati di tengah masyarakat. Sayangnya, sistem Banua dan Sistem Pemerintahan telah mengalami perobahan pada masa kolonial dan NKRI, dan kurang peduli dengan kearifan lokal yang ada, walaupun hingga sekarang paradigma dan sistem nilai tentang tradisi tersebut masih terdapat di tengah masyarakat.
3.1.3   Kearifan Lokal dalam “keragaman”
              Masyarakat Nias sangatlah sejalanan pada kehidupan majemuk. Memang pada perkembangan sejarahnya, dalam sistem kemasyarakatan tradisional dikenal istilah “sowanua” (orang dalam) dan “sifatewu” (Masyarakat pendatang). Namun sistem keterbukaan kepada sifatewu-pun masih ada. Apabila “sifatewu” menyatakan diri sebagai anggota komunitas banua melalui upacara adat, maka sifatewu menjadi bagian dari banua.
              Lebih jauh ke belakang, kalau mengkaji asal-usul “Ono Niha”, maka mitos melalui syair mengungkapkan keragaman leluhur yang diperkirakan datang bergelombang di kepulauan Nias. Misalnya, syair: “Nidada raya Hia, nifailo yöu Gözö – ba no mamuko danö niha mohulu gotou, mohulu guro. Andrö dania ladaya Hulu Mbörö danötanö ba mafi gaekhula, ba no manaere danö niha mo’afi zumbila, mo’afi moyo. Awena ladada Daeli Sanau Talinga, ba awena sibai alo’o ba fadaya danö Niha.”
              Kalau melakukan pengkajian syair tersebut secara mendalam dengan analisa etno-sosiologis, maka memberi indikasi bahwa leluhur Nias datang ke Tanö Niha bergelombang atau bertahap, lalu mengalami asimilasi-bertahap atau pembaruan antar-etnik dalam rentang waktu yang cukup panjang, termasuk dalam sistem sosio-kulturalnya, bahasa yang melahirkan berbagai logat (idiom), perubahan bentuk fisik dan sistem kepercayaan lainnya.
              Namun perlu dicatat bahwa “kesatuan antar etnik” bukan tanpa ketegangan dan peperangan. Masalahnya bahwa leluhur-leluhur Nias yang datang ke daerah ini, karena sifatnya bertahap maka bentukan budayanya juga mengalami perkembangan. Mulai dari kehidupan yang bergantung pada alam (mengumpulkan hasil alam) hingga pada pengolahan hasil alam (pertanian, peternakan). Lebih dari itu, kelompok-kelompok yang datang dari luar tersebut telah memiliki kebudayaan sendiri dari daerah asalnya. Bagi kelompok pertama yang datang, tradisi dari daerah asal tersebut diteruskan dan disesuaikan dengan konteks keberadaan mereka di kepulauan Nias. Ketika kelompok etnis lain datang dan bertemu dengan kelompok sebelumnya, maka di sini terjadi interaksi dan akulturasi antar etnik/kebudayaan. Menurut Garang bahwa interaksi itu terjadi antara kelompok yang telah ada di Nias pada masa mesolitikum atau neo-megalitik dengan kelompok yang datang pada masa paleo-mongolide, disusul oleh kelompok yang disebut kelompok neo-litikum, serta kelompok mongolide. Interaksi dan akulturasi tersebut terjadi sekitar empat ribuan tahun yang silam. Pada perjumpaan tersebut, masing-masing kelompok tentu berusaha mengalahkan kelompok lainnya (disini dikenal “perang antar banua”), saling berusaha mempertahankan identitas dan tradisinya masing-masing sehingga terjadi sikap saling menolak atau saling menaklukan yang lain, ataupun juga saling menerima. Perjumpaan dalam jangka panjang ini, melahirkan minimal tiga hal: (1) Tradisi kelompok tertentu hilang karena mengikuti tradisi kelompok lain; (2) tradisi masing-masing masih terus hidup dan tidak ada titik temu satu dengan yang lain, dan (3) menghasilkan dan menyepakati system baru, hukum baru, tradisi baru dalam hidup bersama, walaupun tradisi masing-masing masih hidup dalam kelompok masing-masing.
              Hasil interaksi/pembaruan panjang tersebut di atas, telah menampilkan penduduk Nias yang sekarang, yang pada dasarnya beraneka-ragam dalam banyak hal, namun tetap memiliki kultur dasar, baik dalam hal bahasa maupun adat-istiadat, sistem kepercayaan dan tradisi lainnya. Keragaman dan Asimilasi inilah yang melatar-belakangi ungkapan “amakhoita zatua” (tradisi etnik) dan “amakhoita mbanua” (kesepakatan bersama yang telah berasimilasi “antar-etnik”), yang di belahan tengah, timur, barat dan utara dikenal dengan nama “Fondrako”. Kesadaran akan kesatuan dalam keragaman ini, juga tampak dalam komunikasi antar banua dalam kegiatan adat-istiadat, yang selalu dimulai dengan perkataan: “Sara nidanö, sambua ugu’ugu, sambua mbanua sambua mbuabua/mböwö”. Dan demi kebersamaan, maka kedua belah-pihak biasanya mencari titik-temu untuk saling bekerjasama dan saling menutupi kelemahan. Dalam konteks itulah muncul ungkapan (amaedola): “Undu ita, la’iju ita, faoma tabalugö mbua nawöda.
              Keterangan di atas menguatkan argumentasi tentang keragaman kedatangan leluhur Nias (baik dari segi waktu maupun tempat, dan setelah mengalami interaksi antar masyarakat yang begitu lama, maka melahirkan kesamaan-kesamaan tradisi, pola pikir dan tindak, bahasa (walaupun ada variasi-variasi), warna kulit (juga bervariasi) dan unsur-unsur kebudayaan Ono Niha.
              Latar belakang “keragaman dan kesatuan” ini memberikan pengalaman (kearifan) masyarakat Nias dalam berinteraksi atau berjumpa dengan pihak lain yang terbuka atau inklusive. Ini merupakan kekuatan lokal bagi zaman ini dalam hal hidup dalam keragaman atau kemajemukan. Namun, tidak dapat disembunyikan bahwa “kearifan lokal” tersebut banyak mengalami pergeseran, bahkan telah melahirkan sikap eksklusive bagi masyarakat Nias, karena pengalaman pahit dalam perjumpaan dengan kelompok lain yang datang kemudian, tertutama ketika praktik “jual-beli tenaga kerja” oleh kelompok Aceh dan kemudian kelompok VOC (Gombani), yang memunculkan sikap “oportunis” dan sikap “alergi bahkan anti-pati” terhadap kelompok luar. Pengalaman pahit inilah yang melahirkan sikap “curiga” terhadap pendatang baru, namun kalau sudah diketahui bukan “musuh”, masyarakat Nias juga terbuka menerimanya. Ungkapan “Emali niha fatua baewali so, ono luo na so yomo” yang biasa digunakan dalam pembicaraan adat perkawinan adalah juga kearifan dalam perjumpaan dengan pihak lain. Itulah pengalaman ketika kekristenan tiba di Nias ini 147 tahun silam. Dimana Ono Niha “terbuka menerima misionaris”, bahkan bersedia meninggalkan “kepercayaan lamanya” dan mengikuti ajaran agama baru yang diperkenalkan kepada mereka.
              Karena keragaman tersebut, maka terdapat prinsip “jangan biarkan ada yang terlewatkan” (tidak diperhitungkan), baik dalam pembagian “material”, dalam penyebutan, dan dalam kepemimpinan (terutama bagi mereka dalam strata/bosi wa’asalawa). Dalam hal inilah muncul ungkapan: “Tefengo nono gae si lö mu’erai”. Ini semua demi kebersamaan dan kesatuan dalam keragaman. Dalam proses sejarah mereka merasakan bahwa jauh lebih menguntungkan kesatuan dari pada peperangan. Makanya muncul berbagai ungkapan yang menunjang kesatuan, seperti: “Ebua hugöhugö zato”, atau “Na ha sara li da, na ha sambua zondra, tola ta’olikhe gawoni ba tola ta’olae gulinasi”.
3.1.4   Kearifan Lokal dalam “Adat-Istiadat selingkaran hidup”
              Pokok yang penting dicatat bahwa bagi masyarakat Nias ada beberapa istilah yang berkaitan dengan adat, yakni hada (hada zatua), huku hada, amakhoita (goigoi), fondrako, bowo, dan lainnya (menurut wilayah masing-masing). Menurut pemahaman Ono Niha (dahulu) bahwa adat-istiadat itu tidak hanya sebatas bentukan tataan sistem kemasyarakatan yang harmoni dan tata hidup menjawab tantangan di sekitarnya, melainkan dipahami sebagai amanah leluhur bahkan amanah dewa yang dipercayaai saat itu.
              Dalam mite dijelaskan bahwa ketika leluhur Nias diturunkan dari Teteholi Ana’a, diikut-sertakan kepada mereka segala yang dibutuhkan, yakni rumah lengkap dengan peralatannya, semua alat ukur atau timbangan (Afore = alat ukur babi, Lauru = alat timbangan padi/beras, Fali’era = alat timbang emas); semua jenis tanaman, binatangbinatang, termasuk pinang, gambir dan sirih. Demikian juga segenap perhiasan, termasuk bait (osali) serta berbagai macam Adu (patung).5 Mite tersebut hendak mengungkapkan bahwa manusia yang diturunkan dari Teteholi Ana’a itu telah mempersiapkan segenap kebutuhan, termasuk sistem hukum adat dan religinya. Hal ini penting untuk menjaga hubungan di antara mereka dan relasi dengan allah atau leluhurnya, sehingga manusia yang ada di bumi ini tetap hidup dalam kesejahteraan. Ini sangat penting karena bagi Ono Niha keharmonisan hubungan, apalagi dengan leluhurnya (allahnya) sangat penting agar lepas dari berbagai penyakit dan bencana, serta memperoleh berkat dalam kehidupan di dunia ini. Mendapatkan berkat adalah tujuan hidup. Berkat yang dimaksud adalah Lakhömi, yakni kekayaan, keturunan, dan kehormatan serta terlepas dari berbagai kutukan. Untuk mendapatkan Lakhömi maka Ono Niha menjaga hubungan dengan para dewa dan leluhur pada satu sisi, dan dengan masyarakat pada sisi lain, dan untuk itulah maka sepanjang hidup Ono Niha, mulai dari “sebelum kelahiran hingga sesudah kematian” dijalani dengan ketaatan pada religi dan kepercayaannya serta pada adat-istiadat.
              Bila melakukan analisa tentang Adat-istiadat di selingkaran hidup di Nias tampak sangat menekankan bagaimana supaya sistem hidup yang dibawa di negeri asal leluhur, dan itu harus terus dipelihara dan diwariskan, di tengah realitas berhadapan dengan masyarakat lain dengan kebudayaannya sendiri. Perjumpaan itu, di satu sisi, memperlihatkan eksklusifisme terhadap kebudayaan yang sudah mengakar. Oleh karena itu, kelahiran anak laki-laki dalam keluarga sangat penting, sebagai famatohu nga’õtõ (penerus keturunan); pemberian nama menjadi urusan para pemimpin kampung; bahkan ada upacara lainnya, yakni: mengasah gigi sebagai tanda-tanda bagi anak-anak kaum bangsawan; menjalani ritus-ritus tertentu seperti mengasah gigi, sunat, menikah, dan menyelenggarakan pesta-pesta jasa tahap-tahap menuju kedewasaan sosial; memahami kematian sebagai jalan untuk kembali ke negeri asal. Sikap eksklusif itu adalah oroisa (amanah), sehingga ketika tidak dilaksanakan dapat menimbulkan amarah/kutukan dari para leluhur.
              Persoalan yang muncul kini ialah bahwa adat-istiadat Nias telah banyak mengalami perobahan, baik karena perjumpaan dengan suku-bangsa lain, dengan agama-agama, dengan modernisasi dan globalisasi. Unsur-unsur adat yang berkaitan dengan agama suku dulunya, banyak digantikan oleh agama-agama, terutama oleh Kristen. Namun, nilai-nilainya masih saja hidup.
3.1.5   Kearifan Lokal dalam “Penataan Sistem Kemasyarakat”
              Jauh sebelum Indonesia Merdeka dan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah ada kelompok sosial di kepulauan Nias yang terorganisir dalam sebuah desa yang disebut Banua, dan Öri sebagai koalisi dari beberapa desa. Penataan kehidupan dalam “Banua”, baik menyangkut system pemerintahan, system mata pencaharian, system religious, system kekerabatan dan kemasyarakatan, dan lain sebagainya – dilakukan berdasarkan unsur dan nilai kebudayaan setempat, yakni Kebudayaan Nias. Untuk menciptakan kehidupan yang harmoni, damai dan sejahtera, masyarakat Nias menerapkan system stratifikasi-demokratis dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan dan kebenaran (dengan symbol Afore (ukuran babi), Lauru (Ukuran beras/padi) dan Fali'era (Timbangan).
              Prinsip tersebut di atas menjiwai bentukan hukum adat yang tertuang dan terangkum dalam Fondrakö. Menurut S.W. Mendrofa9 bahwa Fondrakö tersebut memiliki banyak pengertian, yakni: lambang kepercayaan Ono Niha, lambang hukum perekonomian Ono Niha, lambang seni dan budaya Ono Niha, lambang Tata Hukum pemerintahan tradisional Ono Niha dan lambang persatuan atau hubungan sosial Ono Niha. Menurutnya bahwa dasar Fondrakö adalah: Fo´adu (mengkultus suatu dzat sebagai tumpuan kepercayaan, dan dinyatakan dalam menyembah Adu), Fangaso (tata aturan pemilikan yang diatur dalam Fondrakö), Foharahao-hao (adat yang menyangkut pribadi dan tata kemasyarakatan), Fobarahao (cara menyusun pemerintahan) dan Böwö Masi-masi (etika saling mengasihi). Jadi Fondrakö adalah budaya dan sekaligus "agama" yang terdapat di setiap banua atau Öri, sehingga terdapat "keragaman" atau "variasi" Fondrakö bagi orang Nias. Bertolak dari dasar Fondrakö tersebut di atas, maka pokok-pokok yang dibahas, dimusyawarahkan dan disyahkan dalam Fondrakö menyangkut adat-istiadat, yakni: (1) huku sifakhai ba mboto niha (hukum yang menyangkut kesejahteraan tubuh manusia), (2) huku si fakhai ba gokhöta niha (hukum yang menyangkut keterjaminan hak atas harta milik manusia), (3) huku sifakhai ba rorogofö sumange (hukum yang menyangkut kehormatan manusia).
              Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa kepulauan Nias sebagai bagian Nusantara telah memiliki kearifan lokal menata kehidupan bersama dalam “Banua” berdasarkan pandangan hidupnya, yakni kebudayaan setempat. Namun, sistem tersebut mengalami kegoncangan dan perobahan terutama sejak pemerintah Kolonial Belanda, Jepang, NKRI dan juga interaksi dengan agamaagama yang datang dari luar. Pada pihak lain, Fondrako yang justru mendapat tempat strategi dalam penataan kehidupan masyarakat, tidak berjalan lagi sebagaimana mestinya, karena pada tahun 1914, pemerintah kolonial Belanda melarang melaksanakan upacara Fondrako, dan diarahkan untuk mengikuti “Hukum Adat Kristen di Nias” yang dibuat oleh kerjasama kolonial dan misionaris.
3.1.6   Kearifan Lokal dalam “Sistem Mata Pencaharian”
              Walaupun ribuan tahun yang lalu, masyarakat menggantungkan diri pada alam (al. Buah-buahan seperti kelapa,dll), namun pada abad-abad ke-11 dan terutama pada abad ke-17, sudah mulai ada kopra walaupun masih sangat terbatas. Tetapi ketika missionaris tiba, sistem pencaharian masyarakat sudah tertata dalam 4 bidang, yakni:
a)    Berburu (Sökha, laosi, nago, böhö). Pekerjaan ini terkait dengan sistem kepercayaan. Mereka meyakini bahwa pemilik binatang yang ada di hutan adalah BELA. Oleh karenanya, dalam melaksanakan perburuan selalu didasarkan pada pemberian persembahan kepada Bela, dan di tempat pelaksanaan ritus tersebut ditempatkan siraha sebagai simbol illah yang dipercayai. Kegiatan berburu ini dilaksanakan secara perorangan, tetapi umumnya dengan kelompok. Dalam kegiatan kelompok ini sudah ditetapkan dalam musyarawah adat tentang sistem kepemimpinan, sistem pembagian kerja dan sistem pembagian hasil, termasuk sistem bertabu (famoni). Sistem dan nilai ini masih hidup sampai sekarang, dimana “jasa” setiap orang didasarkan pada peran yang telah dilaksanakannya.
b)   Bertani. Selain kelapa yang umumnya banyak tumbuh di tepi pantai, pada abad ke-17masyarakat Nias sudah mengenal sistem bertani ladang17, dan baru pada abad 18/19 berkembang sistem pertanian sawah. Walaupun pada zaman dahulu penggarapan tanah didasarkan pada kemampuan seseorang, namun pada perkembangan kemudian ditata kepemilikan tanah dengan sistem tanah adat. Demikian juga sistem bertanam: waktunya (mamaigi bawa dalu mbanua18), jenis tanaman, cara mengerjakan dengan sistem falulusa, atau fatanö luo disepakati dalam sistem adat. Kegiatan bertanipun juga memiliki dimensi religious. Masyarakat percaya bahwa padi ada pemiliknya (sibaya wakhe) dan oleh karenanya, agar tanaman tidak dirusak oleh roh-roh jahat ataupun hama dan tikus serta diberkati oleh dewa pemilik tanaman, maka dilakukan ritus-ritus (al. pesta Saho, ritus pada adu dan berbagai famoni).
c)    Beternak. Salah satu ternak piaraan masyarakat Nias yang lama ada dan menjadi tradisi adalah ternak babi. Ini sangat penting, terutama dalam kebutuhan adat-istiadat, dan juga untuk kepentingan persembahan dalam ritus-ritus agama lama. Dahulu, cara berternak babi ini dilaksanakan dengan cara mo’arö göli (memagar kebun dengan bambu, lalu ternak babi dalam jumlah banyak dilepas dalam kebun yang telah pagar tersebut antara 4-6 bulan hingga makanan, yakni daun ubi dan ketela di kebun tersebut habis). Setelah kebun ditanami dengan tanaman keras, barulah sistem kandang di belakang rumah dikembangkan. Dahulu, pekerjaan ternak inipun memiliki dimensi religious. Diyakini bahwa ada illah pemilik ternak piaraan, yakni Sobawi. Oleh karenanya, dahulu agar babi berkembang biak dan bertumbuh cepat, dilakukan ritus-ritus melalui adu, dan kegiatan famoni. Apabila usaha ini berhasil, maka umumnya dahulu masyarakat Nias melaksanakan pesta (owasa), apakah itu perkawinan ataupun pesta penaikkan status sosial (bosi). Jadi, bagi orang Nias dahulubekerja memiliki goal sosial, dan memang bukan berpikir ekonomis dengan prinsip pelipatgandaannya.
d)   Nelayan. Hanya masyarakat yang berada di pinggir laut yang umumnya bekerja sebagai nelayan. Di pulau Nias, dahulu umumnya ini dilakukan oleh pendatang (minang, aceh), baru kemudianlah ada orang Nias yang bekerja sebagai nelayan. Namun di kepulauan Batu, masyarakat sudah lama bekerja mencari kebutuhan di laut19. Sedangkan masyarakat di pedalaman, hanya mengenal usaha mencari ikan di sungai sebagai lauk pauk. Mereka memahami bahwa ada pemilik isi sungai, yakni: Tuha Zangaröfa. Oleh karenanya, kalau mereka berkehendak mencari ikan di sungai, maka dilakukan tabu dan ritus agama lama. Dengan sistem mata pencaharian tersebut di atas, maka Ono Niha berusaha mempertahankan hidupnya, dan bahkan menata kehidupan dengan pendidirian rumah dan megalith, perkawinan, pesta (owasa), dan pembelian barang-barang jualan yang dahulu datang dari para pedagang Minang, Aceh dan China (seperti emas, perak, kuningan, dan sebagainya). Pengalaman-pengalaman keberhasilan dan kegagalan dalam mencari nafkah ini, telah melahirkan kearifan yang diwarisi turun-temurun seperti: kesehatian dalam berburu, keadilan dalam membagi hasil buruan, penentuan waktu dalam bertani dengan melihat kalender “bawa dalu mbanua”, dan pendasaran semua kegiatan dalam ketaatan pada upacara keagamaan (walaupun waktu itu dengan agama suku). Bahkan pengalaman kebersamaan, seperti falulusa, fatano luo, atau halowo zato telah menjadikan sebagai falsafah hidup yang digunakan hingga sekarang, seperti: “Aoha Noro nilului wahea, aoha noro nilului waoso, alisi tafadayadaya, hulu tafaewolowolo”.
3.1.7   Kearifan Lokal dalam Sistem Kepercayaan Asli
              Sebelum datangnya agama Kristenan, Islam, Hindu, dan Buddha ke Pulau Nias dan Pulaupulau Batu, orang Nias sebagai salah satu suku yang tergolong tua telah memiliki sistem kepercayaan tersendiri. Para peneliti, menyebut agama asli Nias dengan istilah “penyembah ruh”  atau Agama Pelebegu atau Penyembah Patung (Molohe Adu).  Ada juga yang menyebut sebagai penyembah dewa-dewa.
              Saya tidak mengulas secara mendalam sistem kepercayaan Nias disini, tetapi yang jelas melalui mitos dikenal dewa-dewa dunia atas dengan nama Teteholi Ana’a (Lowalangi, Sihai, atau di Nias Selatan dikenal Inada Samihara Luo, dan PP. Batu dikenal Inada Dao), dan dewa-dewi dunia bawah (lature danö atau Bauwa danö). Dikenal juga dewa yang sangat jahat yakni Nadaoya dan Afökha dan berbagai dewa rendah (roh halus) yang disebut "bekhu", yakni: Bekhu Gatua (hantu hutan), Bekhu Dalu Mbanua (Roh yang bergentayangan di langit); Zihi (hantu laut), Simalapari (hantu sungai), Bela (hantu yang berdiam di atas pohon, pemilik semua binatang di hutan), Matiana, roh wanita yang mati ketika melahirkan bayi, lalu roh ini menjadi pengganggu para wanita yang mau melahirkan; Tuha zangarofa (penguasa ikan di sungai), Salöfö, yakni roh orang yang pandai berburu, dan berbagai roh jahat yang tinggal di gua, yang tinggal pohon besar, sungai dan muara sungai, dan Ono Niha juga takut dan menghormat roh nenek moyang atau sering disebut “malaika zatua”.
              Semua roh-roh halus tersebut ditakuti oleh Ono Niha dan mereka berusaha menghindarinya dengan menaati tabu (famoni) atau menenangkannya melalui ritus-ritus penyembahan. Berdasarkan itulah misionaris Wagner dengan pandangan yang sedikit negatif menyimpulkan bahwa poros agama asli Nias adalah ketakutan. Segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat Nias dalam kehidupannya tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan mereka. Apa yang mereka percayai, turut mempengaruhi tindakan mereka, sehingga ketika melakukan sesuatupun mereka harus melihat hari baik, dan agar mereka terhindar dari segala macam pernyakit yang diakibatkan oleh roh jahat, mereka memakai jimat-jimat agar kebal. Ada hari-hari mujur dan hari-hari tidak mujur untuk membangun rumah, untuk menanam padi, untuk perkawinan, dan selanjutnya. Ada jimat-jimat yang membuat kekebalan sehingga tidak dapat melukai, dan lain-lain. Semua ini merupakan upaya mengindari ancaman roh-roh tersebut. Lebih dari itu, untuk menjaga keserasian hidup dan kelangsungan hidup alam semesta, masyarakat Nias harus memberikan persembahan-persembahan kepada dewa-dewa. Di sinilah Ere (imam) berfungsi melaksanakan ritus-ritus memberi persembahan melalui Adu sebagai media. Itulah sebabnya ada banyak adu (patung) di Nias pada waktu misionaris datang, dan mereka mengatakan bahwa musuh utama dari misi adalah adu dan oleh karenanya harus dihancurkan oleh kekuatan Salib Kristus.
3.1.8   Kearifan Lokal dalam “Menghadapi Ancaman dan Bencana”
              Dalam kosmologi Ono Niha dipahami bahwa kosmos ini terdiri dari dunia atas (yang dipimpin oleh Lowalangi) dan dunia bawah yang dipimpin oleh Lature Danö. Dalam mitos digambarkan bahwa Lature dano berbentuk “naga” yang menopang Tanö Niha ini dari bawah. Dipahami bahwa gempa terjadi karena Lature Danö sudah lelah menopang bumi ini, sehingga ia menggoyangnya, dan itulah gempa bumi. Itulah sebabnya kata-kata yang keluar dari sebagian orang pada waktu gempa: “Biha tuha”, artinya: “Masih Kuat Sesembahan kami”. Diharapkan dengan kata-kata itu Lature Danö semangat lagi memikul bumi Nias ini.
              Terlepas dari pemahaman tersebut, satu hal penting yang merupakan kearifan lokal masyarakat Nias bahwa untuk menghadapi ancaman dan bencana, maka banua umumnya dibangun di atas pebukitan (menghindari musuh), dan melakukan pembangunan rumah yang mampu bertahan apabila ada gempa, sehingga muncul ungkapan: “Andrö wa so gehomo, andrö wa so ndriwa, tendrora afu lö aso’a.” Itulah rumah adat Ono Niha. Sayangnya, tidak banyak yang memeliharanya, dan sekarang lebih banyak rumah beton, dan setelah gempa 2005, banyak yang membangun fondasi yang kuat, dan atap dengan rangka baja. Kesiagaan terhadap bencana ini merupakan “nilai dari kearifan lokal”.
3.1.9   Kearifan Lokal dalam Seni
              Di samping itu masyarakat Nias juga banyak memiliki corak kebudayaan diantaranya Omo ni Oniha (Rumah Adat), Maena (Tarian) seperti Tari Moyo (Rajawali), tari mogaele, (Baluse) tari Perang dan lain-lain.
a)    Hombo Batu (Lompat Batu) yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat Nias dan meloncati susunan batu yang setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Ajang tersebut diciptakan untuk menguji fisik dan mental para remaja pria Nias menjelang usia dewasa yang akan ikut berperang melawan penjajah karena pertahanan musuh sangat kuat jadi untuk memasuki area musuh tidak selalu mudah apalagi untuk mengalahkannya sebab di beberapa wilayah, musuh memiliki kubu pertahanan yang sangat kuat di antara beberapa titik yaitu bambu runcing yang merupakan benteng pertahanan, sehingga dengan ketangkasan para leluhur melalui latihan lompat batu dengan penuh semangat dan percaya diri sehingga kubu pertahanan musuh dapat di lalui dengan lompatan yang sangat tinggi, dan akhirnya benteng pertahanan musuh menjadi rubuh dan setelah itu musuh di kalahkan. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu.
Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tidak kurang dari 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang tolakan dari permukaan tanah 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki teknik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang.
b)   Maena(Tari).
Maena adalah sebuah tarian yang sangat simpel dan sederhana, tetapi mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara. Dibandingkan dengan tari moyo, tari baluse/tari perang (masih dari Nias), maena tidak memerlukan keahlian khusus. Gerakannya yang sederhana telah membuat hampir semua orang bisa melakukannya. Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah terletak pada rangkaian pantun-pantun maena (fanutunõ maena), supaya bisa sesuai dengan event dimana maena itu dilakukan. Pantun maena (fanutunõ maena) biasanya dibawakan oleh satu orang atau dua orang dan disebut sebagai sanutunõ maena, sedangkan syair maena (fanehe maena) disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam tarian maena dan disebut sebagai sanehe maena/ono maena. Syair maena bersifat tetap dan terus diulang-ulang/disuarakan oleh peserta maena setelah selesai dilantunkannya pantun-pantun maena, sampai berakhirnya sebuah tarian maena. Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertuntun bahasa Nias (amaedola/duma-duma), namun seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun-pantun maena yang khas li nono niha (bahasa asli Nias) sudah banyak menghilang, bahkan banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya, ini bisa kita dengarkan kalau ada acara-acara maena dikota-kota besar. Maena boleh dibilang sebuah tarian seremonial dan kolosal dari Suku Nias, karena tidak ada batasan jumlah yang boleh ikut dalam tarian ini. Semakin banyak peserta tari maena, semakin semangat pula tarian dan goyangan (fataelusa) maenanya.
Maena biasanya dilakukan dalam acara perkawinan (fangowalu), pesta (falõwa/owasa/folau õri), bahkan ada maena Golkar pada pemilu tahun 1971, menandakan betapa tari maena sudah membudaya dan fleksibel, bisa diadakan dalam acara-acara apa saja. Tidak salah lagi maena merupakan tarian khas yang mudah dikenali dan dilakukan oleh ono niha maupun oleh orang diluar Nias yang tiada duanya dengan tarian poco-poco (Sulawesi) atau tarian Sajojo (Irian), yang telah memperkaya panggung budaya nasional. Di Nias maupun di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Bandung, Padang, Sibolga, sering dijumpai maena pada acara pernikahan orang-orang Nias. Maena, tari moyo, tari baluse, hombo batu, li niha, amaedola adalah merupakan kekayaan budaya ono niha yang seharusnya terus berkembang.
c)    Amaedola, Hoho & Hendri-hendri serta Manomano (Cerita yang Berkembang di Masyarakat)
Kearifan tentang bagaimana falsafah hidup masyarakat nias dalam menjani kehidupan, baik menyangkut kharakter pribadi, maupun dalam hubungan dengan orang lain dan hubungan dengan masyarakat luas – semua dapat dilihat nilai-nilainya dalam Amaedola, Hoho & Hendri-hendri serta Manomano.
Contoh :
Nasihat Tentang :
Amaedola (kata-kata penyemangat)
Kerjasama/kesatuan
Aoha noro nilului wahea, Aoha noro nilului waoso Alisi tafadayadaya, Hulu tafaewolowolo
Kepemimpinan
Taria fadoli fa lö alulu, Taria fo’alulua fa lö aetu
Nasihat tentang :
Hendri-Hendri (Pantun Nias)
Saling Menghormati
dengan cara berpantun dimana yang satu merendahkan diri dan memuji yang lain, demikian sebaliknya.
Sowato (tuan rumah)
Ae ba no tabe’e nafo ba danga domeda, ba ma õwai afo manõ, ha leu-leu dawuo danõ, ayau wa’ebolo dõdõ amagu sotõi ya’ugõ, hekeni ba ……..he
Tome (tamu)
Ae ba no tatema nafo, silagae … ae ba danga
zowatõ, ba maõwai afo manõ…. fõfõ nafo ndrundrutanõ,…. si fao me lafailõ mbõwō……. raya ba mboto mazingõ, hekeni ba……..he
Sowato (tuan rumah)
Rakõ- rakõ dõi sa dawuo, ha leu- leu dawuo danõ. Hatõ balazi ndrau’gõ, na’õ bali’õ tawuo lanõ.
Tome (tamu)
Ba notatema nafo moroi ba danga zowatõ ami gulo nidanõ, dõhõ wa’owõkhi dõdõ
Sowato (tuan rumah)
Ae ba fino sagoli, ae ba tawuo si sagõrõ hatõ balazi ndraugõ na’õ fatutu ngahõnõ.
Tome (tamu)
Falõ’õ- lõ’õ zowanua, falõ’õ- lõ’õ zowatõ, ba no siwa tawõla tõ ha ngao- ngao wa’alõ’õ.
Dst....
d)   Omo Hada (Rumah Adat )
Dulu omo hada (rumah adat) oleh masyarakat Nias digunakan sebagai lambang kekayaan pemiliknya. Selain sebagai tempat tinggal, di dalam rumah ini bangsawan pemiliknya berhak melakukan pertemuan dan acara adat. Acara adat dimaksud dapat berupa upacara pengukuhan raja (owasa famaho bawi soya), upacara menguji kekuatan rumah raja (famoro omo), dan pesta pembuatan rumah baru (famaluaya tuha nomoa). Dengan demikian, omo hada merupakan titik sentral setiap kegiatan yang melibatkan adat istiadat. Peralihan zaman membuat fungsi omo hada berubah menjadi rumah pertemuan biasa, dan sebagai gantinya balai desa menjadi titik pertemuan.
3.1.10    Bahasa
              Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya.
              Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal.Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan "e" seperti dalam penyebutan "enam" ).
3.2    PENERAPAN KEARIFAN LOKAL
            Marilah kita lihat bagaimana kedudukan kearifan lokal dalam perkembangan kultur lokal pada masa kini. Sejarah perkembangan kearifan lokal telah menorehkan catatan penting bahwa kebijakan berperan penting dalam membangun kemasyarakatan. Oleh karenanya kearifan lokal sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan oleh segenap bangsa dan negara baik seseorang maupun kelompok masyarakat tertentu. Dengan demikian maka akan berlangsungnya penerapan atau pempraktikan kearifan lokal akan berjalan dengan baik.
            Masyarakat Nias sebagian besar masih memegang teguh kearifan lokal seperti contoh di atas mereka masih menjalankan budaya leluhur dengan tetap melaksanakan kaidah yang telah di terapkan semenjak dahulu tanpa melakukan adanya perubahan.
            Namun demikian, demi kelanjutan cita-cita negara Republik Indonesia yang bersatu, demokratis, bebas, adil, dan mengakui Hak azazi dan hak sosiokultural setiap individu maupun kelompok, maka upaya penerapan Kearifan lokal ini seyogyanya dilaksanakan dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia. Dalam masyarakat multikultural, kearifan lokal kiranya berperan penting dalam melestarikan kebudayaan daerah.
            Nias adalah salah satu suku bangsa yang masih memegang teguh kearifan lokal sekaligus berperan penting dalam memberi arah yang mampu memfungsikan diri sebagai suku yang memiliki prinsip kebijakan dalam pemenuhan sistem kemasyarakatan. Baik agama, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, bahasa , dan komunikasi.


BAB IV
PENUTUP
4.1    KESIMPULAN
            Dari pembahasan diatas maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa kearifan lokal sangat mendukung perkembangan budaya. Karena tanpa dukungan kearifan lokal perkembangan kebijakan tidak mungkin sampai pada tujuannya yaitu mensejahterakan kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Karena dengan kearifan lokal manusia dituntun untuk mengembangkan kebijakan secara bijak dan baik. Jika kearifan lokal yang dikembangkan tidak didasarkan pada ilmiah maka yang terjadi banyak kebijakan sulit untuk diterima dari rasional manusia, dan malah akan menjerumuskan manusia. Sehingga perkembangan dan penerapan kearifan lokal tidak boleh berjalan sendiri-sendiri melainkan harus saling berkoordinasi.
            Secara ontologi, hakikat antara kearifan lokal dengan kaidah kebijakan bahwa kearifan lokal sebagai kendali dari penggunaan kebijakan agar budaya tersebut dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam penerapannya kearifan lokal harus berlandaskan kebijakan bersama di suatu daerah. Setiap daerah di indonesia memiliki kearifan lokal yang berbeda, seperti kearifan lokal di pulau nias. Kita sebagai generasi penerus seharusnya bangga memiliki kearifan lokal daerah yang beragam, bukan cenderung melupakan kearifan lokal yang saat ini di anggap sebagai hal yang kuno atau tidak penting.
4.2    SARAN
            Masyarakat Nias merupakan masyarakat yang kaya akan kearifan lokal dan kebudayaan daerah yang melimpah. Hal ini tentunya haruslah diberdayakan dan dikembangkan. Kearifan lokal Nias ini masih belum dikenal luas. Oleh karena itu, dukungan dari pemerintah sangatlah penting serta kerjasama dari berbagai pihak terkait dan masyarakat luas juga tentunya.


DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Citra
Amri Marzali, 2009. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana
Miriam Budiarjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
          Utama
2011, ( http://id.wikipedia.org/wiki/Nias. Diakses tanggal 15 Desember 2012 jam
          18:00)
Garang. 2007. Membangun Harapan Menapaki Masa Depan (Studi tentang
          Perubahan Sosial dan Kultural). Jakarta: YTBI